Baru dua bulan menikmati rumah pondokan, Ibu Soedjariah ndangu[1] saya, apakah bersedia sekiranya diusulkan untuk ndherek[2] Pak Noto, karena sebuah kamar di pavilyun Jl. Diponegoro 52 kosong? “Saya yang akan matur[3]”. Continue reading “Mundur-Maju”
Maju-Mundur
Di suatu remang petang, hati terasa begitu gundah. “Apa pun resikonya, keputusan harus saya ambil. Tetap bekerja di Sala atau pindah ke Salatiga.”
Menurut Pak Parsito, saat bertemu di Continue reading “Maju-Mundur”